Dari pengikut-pengikut Kertarajasa yang disebutkan dalam Kitab Pararaton dan Kitab Kidung, ada beberapa yang kita jumpai kembali di dalam prasasti-prasasti, yaitu Wiraraja sebagai mantri mahawiradikara, Pu Tambi (Nambi) sebagai rakryan mapatih, dan Pu Sora sebagai rakryan apatih di Daha. Jadi Nambi telah memperoleh kedudukan yang tinggi dalam hierarkhi kerajaan Majapahit, sedang Sora menduduki tempat ke dua. Sumber lain mengatakan bahwa Wenang atau Lawe diangkat sebagai amanca nagara di Tuban dan adhipati di Datara. Pemimpin pasukan ke Melayu dijadikan panglima perang dengan mendapat nama Kebo Anabrang.
Tetapi rupa-rupanya ada juga yang tidak puas dengan kedudukan yang diperolehnya, dan hal ini merupakan sumber timbulnya pemberontakan-pemberontakan dalam dua dasa warsa yang pertama dari kerajaan Majapahit. Pertama, Rangga Lawe menyatakan tidak puas terhadap raja, mengapa bukan dia sendiri atau Sora yang dijadikan Patih di Majapahit (bahwa yang diangkat oleh Kertarajasa sebagai Patih di Majapahit adalah Nambi, dan bukan orang lain, tentulah berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang sesuai dengan kitab-kitab penuntun yang ada, antara lain Kitab Nawanatya, yang berisi uraian tentang pejabat-pejabat kerajaan, kewajiban mereka, dan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi untuk dapat diangkat dalam jabatan tertentu, di dalam kitab tersebut antara lain dikatakan bahwa seorang Patih Amangkubumi tidak hanya harus gagah berani dalam peperangan, tetapi juga harus paham segala cabang ilmu pengetahuan, adil, bijaksana, pandai berdiplomasi, membina persahabatan, mementingkan kepentingan orang lain, tidak takut dikritik dan lain sebagainya, sedang sumber lain menyebutkan bahwa Rangga Lawe ialah seorang yang lekas naik darah dan kasar tabiatnya).
Karena itu Rangga Lawe pulang ke Tuban dan menghimpun kekuatan, usaha Wiraraja (ayahnya) untuk menginsyafkan tidak berhasil. Muncullah kemudian tokoh yang akan merupakan biang keladi dari semua kerusuhan di Majapahit yaitu Mahapati. Dialah yang mengadu kepada raja bahwa Lawe akan memberontak, maka pertempuran antara pasukan Lawe dan pasukan raja-pun berkobarlah. Peperangan ini terjadi pada tahun 1295. Dalam pertempuran tersebut Lawe gugur di tangan Kebo Anabrang tetapi kemudian Kebo Anabrang di bunuh dari belakang oleh Lembu Sora, karena ia tidak tahan melihat kematian bekas sahabatnya dalam duka nestapa. Peristiwa ini dijadikan alasan oleh Mahapati untuk menyingkirkan Lembu Sora serta menganjurkan agar Lembu Sora diberi hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Berat bagi raja untuk memberi hukuman kepada Sora mengingat jasa-jasanya di masa lalu, tetapi dengan segala tipu muslihatnya Mahapati dapat memaksakan pertempuran antara pasukan Lembu Sora melawan pasukan raja pada tahun 1298 - 1300. Sora terbunuh bersama dengan pengikut-pengikutnya yaitu Juru Demung dan Gajah Biru. Setelah Sora mati terbunuh, maka Nambi yang akan dijadikan sasaran oleh Mahapati, rupa-rupanya Mahapati sendiri mengincar kedudukan sebagai patih amangkubumi.
Nambi mengetahui maksud jahat Mahapati, dan ia tahu Mahapati sedang mendapat kepercayaan dari raja, maka ia merasa lebih baik menyingkir saja dari Majapahit. Kebetulan memang ada alasan, yaitu ayahnya (Wiraraja) sedang sakit, maka ia meminta ijin kepada raja untuk menengok ayahnya di Lumajang.
Tetapi sementara itu raja meninggal pada tahun 1309, beliau di candikan di Antahpura dengan arca Jina dan di Simping (Sumberjati, Blitar) dengan arca Siwa. Pada faktanya di Candi Simping (Sumberjati) telah ditemukan sebuah arca perwujudan yang menunjukkan laksana campuran antara Siwa dan Wisnu (Harihara) yang diperkirakan merupakan arca perwujudan Kertarajasa.
0 Pesan & Kesan:
Posting Komentar
Rahayu, setelah membaca artikel ini, bila anda tertarik silahkan tinggalkan pesan & kesan di bawah artikel ini. Semuanya demi kemajuan blog Majapahit Madani.